Celoteh Rindu Ranu Kumbolo

Ranu Kumbolo



Malam segera datang dan aku masih belum bertemu dengan mu, bukan karena lelah ragaku yang aku khawatirkan, melainkan rindu yang tak pernah kompromi untuk menggangu angan dalam otakku. Aku berhenti di depan jalan tanah padat dengan kemiringan yang cukup terjal. Kuhirup nafas dalam-dalam, dan kuhempaskan melalui mulutku, seperti orang yang telah tahu akhir dari semua perjalanan. Malam semakin larut dan kabut menjadi teman perjalanan, pandangan ke depan tidak jauh beda seperti melihat sebuah tembok putih kokoh yang menghadang.

Cahaya senter akhirnya menemui tanah lapang dan lega rasanya sudah sampai ditempat yang aku rindukan, disinilah orang-orang biasanya bersenandu riang dalam keheningan Ranu Kumbolo. Terlihat bias cahaya dari beberapa tenda disana. Aku melihat beberapa orang berkumpul mengelilingi satu wadah api unggun di samping rumah tembok permanen dengan menggunakan jaket dan sarung yang dililitkan di leher mereka, orang kota biasa menyebutnya “akamsi” (anak kampung situ), mereka memberikan senyum dengan pengartian agar kita bersedia mampir untuk sekedar menghangatkan tangan di sana. Mereka adalah warga suku tengger yang menjaga kesucian air Danau Ranu Kumbolo, Menurutku. Masih teringat beberapa bulan yang lalu saat aku berkunjung di danau ini, ada pengunjung yang cuci muka secara langsung dan menceburkan kaki kedalam danau. Salah satu dari mereka berteriak dengan nada jawa dengan maksud si pengunjung tersebut cepat berpindah dari pijakannya. Seperti mengusir kerbau yang merusak tanaman ladangnya, dan si kerbau hanya bisa lari dan pergi dari tempat yang diartikan suci oleh para menjaga danau. Peraturan dari pihak TNBTS mewajibkan para pengunjung ranukumbolo agar mengambil air di danau dengan botol mineral atau alat yang tidak mengandung minyak.  

Malam itu aku sempatkan usahaku untuk membuka tenda yang selama perjalanan meringkuk hangat dalam carrier. Sekarang waktunya kamu memberiku kehangatan, bukan kehangatan tepatnya, tidak sepantasnya jika aku memintamu seperti itu. Setidaknya berilah ruang untukku agar kita bisa berbagi kehangatan dalam dinginnya Ranu Kumbolo ini. Bisikku dalam hati kepada tenda yang telah berdiri. Akupun masuk dalam tenda dan mencoba memejamkan mata berharap mendapat mimpi sedang menikmati kopi diruang tengah dengan kayu terbakar di perapiannya dan bercengkerama dengan orang yang dicintai entah siapapun itu. Dalam kenyataanya, aku tak medapatkan satu mimpi apapun. Entah keberapa kali aku terbangun dan mencoba memejamkan mata kembali untuk mengulang harapan medapat sebuah mimpi indah dan menanti pagi datang.

Harapanku terhenti ketika bias cahaya matahari pagi masuk ke tenda yang memaksaku untuk segera membuka mata, sinar matahari itu masuk kedalam tenda melalui sela pintu tenda yang tidak tertutup dengan baik. Saat kubuka pintu tenda, aku bergumam lirih ”inilah mimpi ku”. Hamparan danau yang luas dengan kabut lembut diatasnya, seolah-olah kabut itu bergerak melambat mengikuti hembusan nafas angin. Imaginasiku seakan dibawa jauh kebelakang, mengulang masa bahagiaku saat masih kecil, disuguhi selembar kertas gambar kosong dan otakku menyuruhku menggambar pemandangan dua gunung dengan matahari setengah malu mengintip dari tengah gunung. Warna yang kupilih hijau sebagai dominan yang aku tempatkan untuk warna gunung dan tumbuh-tumbuhan yang ada disamping kanan kirinya. Matahari aku warnai orange dan warna biru laut untuk warna langit. Aku tambahkan beberapa gumpalan awan untuk menemani kesendirian langit. Itu semua menjadi nyata didalam mimpiku, atau kenyataan yang aku anggap sebagai mimpi.

Udara dingin kala itu tak membuatku malas untuk melangkah keluar tenda dan mencoba duduk melihat lukisan gambar yang telah aku buat tadi. Aku sempatkan menghirup nafas dalam-dalam, dalam hitungan detik neuron-neuron dalam otakku bekerja dengan cepat mengingatkan kenangan yang telah membuatku bisa berada disini lagi. Kemudian dalam lamunanku seakan-akan aku bisa membiaskan kabut itu menjadi sebuah senyum. Entah siapa dia, aku hanya ingin ada seseorang yang memberiku kekuatan hanya dengan senyuman. Seperti ketika manusia lahir ke dunia pertamakalinya dan bisa melanjutkan kehidupannya dengan melihat senyum sang ibu.

Mataku bergerilya menjamah sekeliling dari tempatku terdiam. Mencoba mencari sesuatu yg membuat aku betah untuk menikmati pagi ini. Ku lihat ke belakang, terlihat punggungan gunung yang tidak terlalu tinggi dengan ada tanjakan tanah di salah satu sisi sudutnya, mereka menyebutnya tanjakan cinta. Konon katanya jika melewati tanjakan tanpa melihat belakang dan memikirkan orang yang dicintai, maka keinginan itu akan terwujud. Aku tak berniat untuk melakukan hal itu, pikirku mudah sekali mendapat cinta, tak beda jauh dengan membeli cinta di lorong gelap jalanan. Punggungan itu terlihat mengitari tempat dimana aku terdiam, seakan menyelimuti ku dari hantaman badai dingin dari sisi luarnya. Tempat ini cukup luas dan ditumbuhi rumput yang mencoba bertahan hidup dari tapak kaki manusia yg bermalam di Ranu Kumbolo. Cukup banyak manusia yg bermalam disana kala itu. Pagi hari di Ranu Kumbolo merupakan waktu yg ditunggu oleh para pendatang, kulihat banyak orang berpose bak foto model berlatar belakang tenangnya danau dengan songsongan matahari dari balik gunung dengan harapan ribuan like di sosmed atau di-repost beberapa akun ternama di media sosial. Tidak sedikit aku melihat orang berbicara di depan handphone atau action camp seperti reporter televisi swasta profesional, walaupun kenyataanya sangat jauh jika kau melihatnya sendiri.
Dari samping tenda terdengar canda tawa beberapa orang, aku melihat ada beberapa orang duduk secara acak saling memperhatikan satu sama lain, menungu titik klimaks dari temannya bercerita kemudian tertawa di ujung cerita dari salah satu temannya. Terdapat satu cangkir kopi panas, satu cangkir teh hangat dan beberapa cemilan yang membuat mereka tambah betah untuk bercengkerama tentang dunia yang pernah mereka buat. Sesekali mereka menawarkan kopi atau cemilan yang mereka punya kepada orang yang lewat di depan tenda mereka. Entah kenapa mereka lebih memilih untuk tertawa bersama dari pada berfoto-foto atau berbicara didepan kamera seperti yang pernah aku ceritakan. Mungkin udara dingin pagi itu membuat malas beranjak dari tempatnya atau mungkin mereka butuh menghangatkan diri dengan saling bercanda dan tertawa bersama. Aku mendengar detail semua perbincangan mereka, walaupun aku tidak tahu maksud dari arah pembicaraan mereka. Jauh dalam ingatanku, aku merasa bagian dari suatu perbincangan mereka. Rasa itu seperti pernah terjadi di kehidupanku sebelumnya. Mungkin reinkarnasi  itu memang ada jika kau bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Dalam kehidupan sebelumnya, mungkin kita adalah sekawanan anak kelinci yang terlahir bersama, berebut air susu, bermain bersama, dan ketika malam datang, mereka saling berbagi kehangatan dalam pelukan induknya. Begitulah keakraban yang mereka ciptakan, seperti keluarga tapi tak sedarah, berbagi cerita tanpa ada batas. Salah satu dari mereka melihat kearahku dan tersenyum, seakan mengisyaratkan aku untuk ikut berbagi canda tawa mereka, akupun tersenyum kearah mereka dan berbisik inilah yang membuat aku rindu untuk datang ke tempatmu.

0 komentar:

Posting Komentar