Ranu Kumbolo |
Malam segera datang dan aku masih belum bertemu dengan mu,
bukan karena lelah ragaku yang aku khawatirkan, melainkan rindu yang tak pernah
kompromi untuk menggangu angan dalam otakku. Aku berhenti di depan jalan tanah
padat dengan kemiringan yang cukup terjal. Kuhirup nafas dalam-dalam, dan
kuhempaskan melalui mulutku, seperti orang yang telah tahu akhir dari semua
perjalanan. Malam semakin larut dan kabut menjadi teman perjalanan, pandangan
ke depan tidak jauh beda seperti melihat sebuah tembok putih kokoh yang menghadang.
Malam itu aku sempatkan usahaku untuk membuka tenda yang
selama perjalanan meringkuk hangat dalam carrier. Sekarang waktunya kamu memberiku kehangatan, bukan kehangatan
tepatnya, tidak sepantasnya jika aku memintamu seperti itu. Setidaknya berilah
ruang untukku agar kita bisa berbagi kehangatan dalam dinginnya Ranu Kumbolo
ini. Bisikku dalam hati kepada tenda yang telah berdiri. Akupun masuk dalam
tenda dan mencoba memejamkan mata berharap mendapat mimpi sedang menikmati kopi
diruang tengah dengan kayu terbakar di perapiannya dan bercengkerama dengan
orang yang dicintai entah siapapun itu. Dalam kenyataanya, aku tak medapatkan
satu mimpi apapun. Entah keberapa kali aku terbangun dan mencoba memejamkan
mata kembali untuk mengulang harapan medapat sebuah mimpi indah dan menanti
pagi datang.
Harapanku terhenti ketika bias cahaya matahari pagi masuk ke
tenda yang memaksaku untuk segera membuka mata, sinar matahari itu masuk
kedalam tenda melalui sela pintu tenda yang tidak tertutup dengan baik. Saat
kubuka pintu tenda, aku bergumam lirih ”inilah mimpi ku”. Hamparan danau yang luas
dengan kabut lembut diatasnya, seolah-olah kabut itu bergerak melambat
mengikuti hembusan nafas angin. Imaginasiku seakan dibawa jauh kebelakang,
mengulang masa bahagiaku saat masih kecil, disuguhi selembar kertas gambar
kosong dan otakku menyuruhku menggambar pemandangan dua gunung dengan matahari
setengah malu mengintip dari tengah gunung. Warna yang kupilih hijau sebagai
dominan yang aku tempatkan untuk warna gunung dan tumbuh-tumbuhan yang ada
disamping kanan kirinya. Matahari aku warnai orange dan warna biru laut untuk
warna langit. Aku tambahkan beberapa gumpalan awan untuk menemani kesendirian langit.
Itu semua menjadi nyata didalam mimpiku, atau kenyataan yang aku anggap sebagai
mimpi.
Udara dingin kala itu tak membuatku malas untuk melangkah
keluar tenda dan mencoba duduk melihat lukisan gambar yang telah aku buat tadi.
Aku sempatkan menghirup nafas dalam-dalam,
dalam hitungan detik neuron-neuron dalam otakku bekerja dengan cepat mengingatkan
kenangan yang telah membuatku bisa berada disini lagi. Kemudian dalam lamunanku
seakan-akan aku bisa membiaskan kabut itu menjadi sebuah senyum. Entah siapa
dia, aku hanya ingin ada seseorang yang memberiku kekuatan hanya dengan
senyuman. Seperti ketika manusia lahir ke dunia pertamakalinya dan bisa
melanjutkan kehidupannya dengan melihat senyum sang ibu.
Mataku bergerilya menjamah
sekeliling dari tempatku terdiam. Mencoba mencari sesuatu yg membuat aku betah
untuk menikmati pagi ini. Ku lihat ke belakang, terlihat punggungan gunung yang
tidak terlalu tinggi dengan ada tanjakan tanah di salah satu sisi sudutnya,
mereka menyebutnya tanjakan cinta. Konon katanya jika melewati tanjakan tanpa
melihat belakang dan memikirkan orang yang dicintai, maka keinginan itu akan
terwujud. Aku tak berniat untuk melakukan hal itu, pikirku mudah sekali
mendapat cinta, tak beda jauh dengan membeli cinta di lorong gelap jalanan.
Punggungan itu terlihat mengitari tempat dimana aku terdiam, seakan menyelimuti
ku dari hantaman badai dingin dari sisi luarnya. Tempat ini cukup luas dan
ditumbuhi rumput yang mencoba bertahan hidup dari tapak kaki manusia yg
bermalam di Ranu Kumbolo. Cukup banyak manusia yg bermalam disana kala itu.
Pagi hari di Ranu Kumbolo merupakan waktu yg ditunggu oleh para pendatang,
kulihat banyak orang berpose bak foto model berlatar belakang tenangnya danau
dengan songsongan matahari dari balik gunung dengan harapan ribuan like di
sosmed atau di-repost beberapa akun
ternama di media sosial. Tidak sedikit aku melihat orang berbicara di depan handphone atau action camp seperti reporter televisi swasta profesional, walaupun
kenyataanya sangat jauh jika kau melihatnya sendiri.
Dari samping tenda terdengar canda tawa beberapa
orang, aku melihat ada beberapa orang duduk secara acak saling memperhatikan
satu sama lain, menungu titik klimaks dari temannya bercerita kemudian tertawa
di ujung cerita dari salah satu temannya. Terdapat satu cangkir kopi panas,
satu cangkir teh hangat dan beberapa cemilan yang membuat mereka tambah betah
untuk bercengkerama tentang dunia yang pernah mereka buat. Sesekali mereka
menawarkan kopi atau cemilan yang mereka punya kepada orang yang lewat di depan
tenda mereka. Entah kenapa mereka lebih memilih untuk tertawa bersama dari pada
berfoto-foto atau berbicara didepan kamera seperti yang pernah aku ceritakan. Mungkin
udara dingin pagi itu membuat malas beranjak dari tempatnya atau mungkin mereka
butuh menghangatkan diri dengan saling bercanda dan tertawa bersama. Aku
mendengar detail semua perbincangan mereka, walaupun aku tidak tahu maksud dari
arah pembicaraan mereka. Jauh dalam ingatanku, aku merasa bagian dari suatu
perbincangan mereka. Rasa itu seperti pernah terjadi di kehidupanku sebelumnya.
Mungkin reinkarnasi itu memang ada jika kau bisa merasakan apa
yang aku rasakan sekarang. Dalam kehidupan sebelumnya, mungkin kita adalah
sekawanan anak kelinci yang terlahir bersama, berebut air susu, bermain bersama,
dan ketika malam datang, mereka saling berbagi kehangatan dalam pelukan
induknya. Begitulah keakraban yang mereka ciptakan, seperti keluarga tapi tak
sedarah, berbagi cerita tanpa ada batas. Salah satu dari mereka melihat
kearahku dan tersenyum, seakan mengisyaratkan aku untuk ikut berbagi canda tawa
mereka, akupun tersenyum kearah mereka dan berbisik inilah yang membuat aku rindu untuk datang ke tempatmu.
0 komentar:
Posting Komentar