Sang Penyaksi

Sabana 2 Merbabu



Aku sangat mencintai kampung tinggalku, tak ada niat secuil pun aku ingin melancong ke negeri seberang. Walaupun angin kencang sering menerpa kami, tapi tak membuat kampungku tampak menjadi mawut. Masih seperti sedia kala, indah dengan ketenangannya. Sesekali ada beberapa manusia yang singgah dikampungku, membawa rumahnya sendiri yang aku rasa akan roboh jika badai menerpa rumahnya. Aku hanya bisa melihat dari jauh, di sudut lembah yang tak mungkin dapat mereka jamah. Hanya bisa melihat dan menjadi saksi senda gurau mereka.
Jika malam datang, saudara-saudaraku ikut tertawa bersama mereka, malahan bunga abadi yang aku pandangi setiap mata ini terbuka dan aku impikan setiap mata tertutup juga ikut tersenyum kecil mendengar lawakan jawa dari mereka. Jika ada kata iri, aku mengiyakan kata itu, aku ingin bergumul dengan hangatnya percakapan yang entah apa isinya.
Manusia menyebut kampung kami dengan sebutan Sabana 2. Wajah Sabana ini berbukit, ditumbuhi rumput dan ilalang tinggi, edelweis si bunga abadi kian mempercantik kampung kami, dan merekalah saudaraku yang kelak akan membuat manusia rindu. Ketika angin berhembus, aku seperti melihat lautan ombak padang rumput ditempat aku berdiri. Ketika senja datang, kampung kami laksana ruang keluarga yang tak pantas jika ditinggalkan. Seperti manusia kala itu, obrolan ringan dengan menyesap hangatnya kopi menjadi sajian di sore itu.
Ketika malam datang, aku ingin segera mengusir rasa kantuk yang secara sporadis menyerang mata dan anganku yang akan segera menjadi sebuah mimpi. Aku masih ingin menunggu kedatangan teman-teman malamku, taburan bintang seperti letupan kembang api yang tak pernah padam. Mereka seperti mengajaku bercengkerama dan ingin menceritakan dunia yang telah mereka lihat. Kadang aku mempunyai keinginan yang terlilit jauh dalam otakku "Aku ingin menjadi salah satu bagian dari mereka.", pikiran itu hilang setelah teman malamku mengatakan "Dunia tak serta merta melihatkan keindahan, jika kau menjadi aku, apakah kau sanggup melihat manusia saling membunuh hanya dengan alasan sebuah pengakuan?". Akupun diam dan kantuk tak kuasa ku bendung kemudian mimpi mengalir dalam anganku, selalu bermimpi tentang indahnya kampung halaman tanpa ada solekan atau riasan dalam setiap sudutnya. Memang begitulah seharusnya.
Itulah kampungku, tepatnya itulah kampungku dahulu kala sebelum manusia berbondong-bondong mendatangi kami. Ketika matahari terbit, aku masih enggan membuka mata. Tak seperti dulu, kabut lembut yang ditiup angin sepoi-sepoi akan membangunkanku tuk menyambut hangatnya mentari pagi. Dan kini, ketika pagi membuka mata, tak ada lagi hamparan padang rumput tinggi menari mengiringi mentari, yang ada hanya pemandangan baru bak lapangan sepak bola tandus, manusia itu membangun rumahnya, memaksa kami untuk mengalah. Masih membekas jelas dalam ingatan saat pertama kali manusia berbondong-bondong mendirikan rumahnya diatas kehidupan kami, aku marah dan geram. Aku teriakan dengan sumpah serapah agar mereka takut, dan berharap pergi dari kampungku, tapi apalah dayaku, sekeras teriakanku masih kalah dengan gelak tawa mereka, tertawa dengan bangga bisa menaklukan keindahan tempat kami singgah, menurutnya. Satu persatu saudaraku mati tertindih rumah manusia, dan seperti yang aku katakan bahwa kampungku sekarang lebih mirip stadion bola dibanding padang rumput savana.
Sekarang suara kampung kami sangat riuh, seperti pasar yang kebanjiran pembeli. Tempat bunga abadi yang aku anggap sakral juga menjadi sasaran  untuk membuang kotoran manusia. Aku tak pernah melihat senyum kecilnya lagi, malahan sering aku dapati dia menangis tanpa alasan. Mungkin merasa hina, dimana namanya diagung-agungkan oleh semesta dan di kampung kami dia hanya sebagai tempat pembuangan kotoran manusia. Tragis memang, dipuja oleh mereka dan di kotori oleh mereka.
Tempat yang dulu indah tanpa solekan, kini menjadi kumuh menurutku. Banyak hiasan yang ditinggalkan oleh manusia, dari berbagai coretan yang tak bisa hilang, dari sampah permanen yang menapak ditanah, dan bau kotoran mereka yang membuat kami geram. Aku sering berbisik kepada angin, untuk meniupkan lebih kencang dan lebih kencang lagi kepada mereka, dengan harapan tidak ada lagi yang berani singgah dan mengotori tempat kami. Manusia selalu menyalahkan alam jika terjebak dalam badai, akulah yang patut disalahkan seharusnya karena akulah yang memintanya, memintanya karena ulah manusia.
Aku pernah melihat serombongan orang membawa papan kayu dan peralatan melewati kampung kami, entah kemana akan mereka bawa semua barang itu. Selang beberapa hari kemudian aku mendengar, mungkin bisa dikatakan menguping, obrolan para burung jalak, bahwa di puncak didirikan sebuah monumen yang katanya sebagai penanda titik tertinggi gunung ini. Aku heran dengan cara berfikir manusia-manusia itu, kami ada sebelum mereka ada. Apakah hanya sebagai penanda puncak tertinggi mereka menyolek kami layaknya badut? Ahh... entahlah. Aku muak memikirkan hal itu.
Aku rindu manusia yang dulu berkunjung ke tempat kami, hangat dan bersahabat. Sesekali mereka tersenyum melihatku dari kejauhan, dan kadang dengan tatapan penuh arti mereka duduk lama terdiam melihat kagum kampung kami, dan ketika dia pulang ke dunia nyatanya hanya kenangan yang tertinggal dikampung kami, itulah yang membuat kami rindu kepadanya.
Aku yang sekarang memilih untuk menjadi pendiam, jika aku bisa, aku hanya ingin melihat diwaktu malam, bercerita keluh kesahku kepada teman malamku diatas sana. Aku iri dengan saudaraku yang telah mati, dan semakin hari aku semakin benci dengan diriku sendiri. Aku benci hanya bisa menjadi saksi kehidupan dan perubahan tanpa bisa menghentikan. Karena aku hanya padang rumput yang bersembunyi di sudut lembah dan hanya bisa menjadi saksi kehancuran.










2 komentar:

  1. Menjadikan padang rumput sebagai saksi kehidupan disana, bagaimanapun juga kita sebagai tamu haruslah lebih sopan kepada alam jika mengunjungi sebuah tempat. Makasih kak, suka tulisannua

    BalasHapus
  2. Iya bang angga, sama-sama. 😀😀

    BalasHapus