Ketika aku
membuka potret memori tentang jalan mu, aku mengingat semua dengan jelas, jalan
tak berujungmu, jalan terjalmu, jalan licinmu dan entah jalan apa yang kau
namai sampai aku tak bisa melupakan. Dibalik itu semua, aku tidak malu mengakui
kau adalah gunung terindah dan gunung yang membuat langkah kami menajadi kuat.
Senja kala itu
tak bisa aku bedakan, karena penciptamu mengirimkan awan mendung disaat kami
akan melangkah dilerengmu. Hujanpun datang seperti yang telah digariskan dan
kita perkirakan. Ada timbul pertanyaan dalam hati apakah kami harus
mundur atau tetap melanjutkan perjalanan tak berujung dijalanmu?. Setelah melihat tawa dan canda dari mereka,
kemudian aku jawab tak perlu kau risaukan perjalanan ini, aku yakin bahwa
mereka bisa karena tangan, kaki, dan pundak ini akan manjadi satu. Satu untuk
untuk menjadi bersama. Dan aku yakin kau pun akan sependapat denganku.
Sejujurnya aku sangat ingin berterimakasih kepadamu yang telah memberikan
jalan terjal dan juga licin kepada kami. Dari situ kami belajar untuk dapat
saling melengkapi, dari jalanmu itu kami dapat saling memahami dan dari jalan
mu itulah kami menjadi satu keluarga. Hujanpun berhenti seperempat perjalan ke
puncakmu, tetapi dinginmu tak juga reda malah semakin menjadi. Sampai kami
harus berhenti di salah satu sudut lerengmu membuat perapian guna menghangatkan
tubuh kami. Akupun menunggu kalimat “Aku tidak kuat, mungkin kita bisa
beristirahat disini”. Kalimat itu tak kunjung datang dan yang aku dengar malahan
canda dan tawa mereka, dan itu membuatku menjadi lebih semangat dan mengucapkan
terimakasihku kepada sang pencipta dan kepada yang telah diciptakan Nya.
Kami tidak tau sudah berapa jauh jalanmu, yang pasti kita butuh semalaman
untuk bisa istirahat di tempat peristirahatanmu yang biasa dinamakan pos III
oleh para pendaki. Perjalanan yang telah kami lalui begitu cepat berlalu, kitapun sudah merindukan jalan jalan yang telah kami lalui sepanjang malam. Jika kau perbolehkan, maka
jalan-jalanmu akan aku sisipkan menjadi penghantar tidurku. Mimpiku datang
ketika matahari malu-malu menampakan rona merahnya dibalik sang awan, indah bisikku,
sampai-sampai aku menganggap itu adalah mimpi. Bodohnya aku yang tak bisa
membedakan mana nyata mana mimpi. Ahhh, entahlah kadang kita harus menjadi
bodoh ketika dihadapkan ke dalam dunia yang angkuh.
Mataku terbangun ketika keriuhan teman-temanku diluar tenda menendangi gendang
telingaku, selain itu memang dinginmu lah yang membuat aku terbangun. Ketika aku
keluar dari sarangku, dan aku tau alasan kau telah mengusik lelap tidurku. Lautan
awan tersaji dalam mataku, sudah tidak lagi hanya dalam otakku, Gunung Merapi
tersaji dengan gagah dan masih menyimpan misteriusnya, Ku sipitkan mataku dan
kudongakkan pandanganku keatas terlihat sabana dengan kabut tipisnya.
Perjalan kami pun berlanjut ke puncak dan akan berakhir di basecamp
tempat yang berbeda saat kita naik, yaitu basecamp Selo. Selama perjalan kami
terdiam, terdiam bukan karena lelah, terdiam bukan karena ingin, tapi terdiam
karena kagum, kagum akan sabana yang berada dalam satu sisi lembutmu, kagum akan keindahan yang telah di ciptakan nya
terhadapmu. Sungguh elok sekali mendapat sabana yang luas dengan kabut tipis
yang dihantarkan angin lembahmu, disisi ini aku tak bisa mengibaratkan gambaran
yang ada dalam penglihatanku ini.
Pemandangan itu tidak lama kami nikmati, kabut tebal mulai menyerang kami
saat kita sampai dipuncak. Jarak pandang hanya beberapa meter dari depan kami. Kami
pun melanjutkan perjalanan untuk turun ke tempat yang kami rencanakan. Jalan
ini sedikit tidak terjal jika dibanding jalan yang telah kita lewati malam
tadi. Aku berhenti sejenak di sebuah sabana dengan pohon abadi disalah satu
sisinya, dan ada plang yang bertuliskan “sabana II”. Pemandangan ini berbeda
saat aku pertama kali berkunjung ke tempat ini. Sudah tidak ada rumput yang
bergoyang beramai-ramai saat di tiup oleh angin. Gambaran sekarang malah
seperti tanah lapang bak lapangan sepak bola dekat kampung halamanku. Rumput-rumput
itu telah mati oleh keidahanmu, karena keindahanmulah yang membuat manusia
berkunjung kerumahmu. Tapi kau janganlah menyalahkan keindahanmu, manusia lah yang
pantas kau salahkan, toh keindahanmu terbuat sebelum manusia diciptakan.
Hujan telah membuat lamunanku buyar, dan memaksa kaki ini terus
melangkah lebih cepat. Semakin deras air memadati jalanmu dan semakin licinlah
jalanmu dibuatnya. Bukan semakin cepat jalan kami, malahan semakin lambat kita
dibuatnya. Sebentar lagi hari akan berganti malam, bukan hanya dingin yang kau
kirimkan kepada kami, badai pun juga tak pelit kau berikan kepada kami. Lengkap
sudah perjalanan ini gumamku. Dalam otak liarku berfikir keindahan yang
telah kami nikmati telah kau bayar lunas dengan badai malammu. Jarak pandang
mata inipun begitu dekat, sinar lampu dari headlamp tak juga bisa menembus
dinding kabut tebal yang telah dikirmkan kepada kami. Salah satu dari kami gemetar
sangat hebat, dan tangannya hampir tidak merasakan indra perabanya. Ujian apa
lagi yang kau berikan. Tanpa memperhatikan medan, bagaimanapun caranya memang
harus memberi perlindungan dari badai dengan cara mendirikan tenda. Kami mendirikan
tenda dengan lokasi apa adanya, ketika itu posisi kami berada antara sabana I
menuju pos III, dan menurtku itu bukan jalan tapi jurang. Sangat sempit sekali
untuk mendirikan tenda, kita harus berjaga agar tenda tidak tergelincir
kebawah. Anehnya ketika kita masuk kedalam tenda, bukan tangisan atau keluhan
yang keluar dari mulut kami, melainkan canda tawa kembali yang kita dapat, dalam penantian pagi entah apa
yang telah kita bincangkan sehingga matahari terlalu cepat untuk menampakkan
sinarnya. Badai sudah berganti dengan segarnya angin pegunungan. Kuhirup
dalam-dalam dan mengingat semua apa yang telah aku lihat dan aku rasakan, sempurna.
Semesta telah berkonspirasi memberikan semuanya kepada ku, kepada kami
semua. Dalam kondisi ini kita diuji oleh semesta, semesta tahu setiap ujian
akan membuat kami menjadi lebih kuat atau sebaliknya akan membuat kami menjadi
rapuh, dan kami memilih untuk menjadi lebih kuat.
Standart waktu tempuh pendakian
Basecamp
|
Pos 1
|
20
|
Menit
|
Pos 1
|
Lembah
Gosong
|
20
|
Menit
|
Lembah
Gosong
|
Lembah
Cemoro
|
25
|
Menit
|
Lembah
Cemoro
|
Lembah
Ngrijan
|
30
|
Menit
|
Lembah
Ngrijan
|
Lembah
Mitoh
|
30
|
Menit
|
Lembah
Mitoh
|
pos 2
|
40
|
Menit
|
pos 2
|
Lembah
manding
|
1
|
Jam
|
Lembah
manding
|
Pos Air
|
2,5
|
Jam
|
Pos Air
|
Pos 3
|
15
|
Menit
|
Pos 3
|
Sabana I
|
25
|
Menit
|
Sabana I
|
Sabana II
|
30
|
Menit
|
Sabana II
|
Sabana III
|
20
|
Menit
|
Sabana III
|
Puncak
Suwanting
|
30
|
Menit
|
Puncak
Suwanting
|
Puncak
Trianggulasi
|
30
|
Menit
|
Puncak
Trianggulasi
|
Puncak
Kenteng Songo
|
5
|
Menit
|
Klik untuk mengetahuai lebih lanjut pendakian Gn. Merbabu Via Suwanting